Sebentar Lagi Puasa
Sebentar lagi memasuki bulan suci ramadhan, menjadi hal wajar bagi kita yang tersuguhkan oleh atribut-atribut bernuansa islam dengan begitu saja bermunculan di pasaran, entah online maupun offline. Apalagi iklan sirup di televisi, musti jauh-jauh hari sebelum ramadhan datang sudah cepat-cepat ditayangkan. Tetapi, ketika memasuki bulan syawal, nuansa-nuansa islam itu sendiri lambat laun mulai redup tenggelam dan lama-lama menghilang, terus saja begitu dan di ulang-ulang dari tahun ke tahun.
“Halah, palingan cuma pas bulan puasa saja kalau hal-hal begitu” Gerutuanku ketika melihat acara promo ramadhan di televisi sore itu menjelang maghrib “Apa iya kalau atribut-atribut itu mulai bermunculan terus menjadikan hal itu sebagai indikator kepedulian kita terhadap agama islam itu sendiri?” Tanya ku setelah waswas dari setan membisikannya
Dahulu sekali sewaktu masih kecil, sebelum masuk sekolah dasar, langgar di tempatku selalu sesak dengan bocah-bocah kecil mengaji, mulai dari alif-alif an sampai dengan al-qur’an. Kemudian para muda-mudinya mengaji kitab gundul atau biasa kita sebut sebagai santri kobong, jumlahnya pun tidak sedikit. Beberapa kitab dikaji mulai dari fiqih dasar hingga hadist. Hal itu pun tak terlewatkan olehku ketika memasuki remaja, walaupun pada akhirnya aku mencari pembenaran atau malah mengkambing hitamkan pergaulan sebagai alasanku meninggalkan rutinitas mengaji dan hal-hal peribadatan lain.
Setelah dua tahun lalu aku lulus sekolah menengah di salah satu kota di jawa barat, dan kini merantau ke kota yang tersohor dengan sebutan kota pelajar itu untuk bertungkus-lumus menelan rumus-rumus dan dikte dari perkuliahan. Sewaktu pertama kali merantau, Aku sangat merasa kesulitan, selain budaya yang berbeda, aku pun merasa aneh melihat kehidupan lingkungan sekitar, mula-mula sangat keheranan betul saat pertama kali pergi ke masjid di perantauan untuk berjamaah ngashar, tidak ada remaja-remaja tanggung satu pun yang pergi ke masjid untuk berjamaah dan mengaji, hanya orang-orang sepuh yang datang ke masjid, itu pun jumlahnya bisa dihitung jari, apalagi sewaktu melihat salah satu dari jamaah masjid di dekat kontrakanku berwudhu, aku begitu tertegun, sangat berbeda dengan yang aku pelajari dulu, ada beberapa syarat berwudhu yang terlewatkan, seperti berkumur dan ditambah lagi wudhunya begitu cepat, belum genap tiga kali membasuh wajah sudah pindah membasuh tangan. Namun kian kemari, aku mulai terbiasa dengan kehidupan di perantauan, sebab aku masih percaya akan pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Setelah merasa bosan dan mematikan televisi, aku keluar rumah untuk sekedar mencari udara sore dan menghampiri Dudung yang dari tadi sedang gitaran di serambi kontrakan kami.
“Tak terasa Dung, sebentar lagi sudah mau puasa aja ya?” tanyaku
“Weh, benar Bah, seperti cepat sekali ya, rasa-rasanya baru saja kemarin kita menjalaninya” Sahut Dudung sembari menghentikan gitarannya.
“Mangkanya Dung, cepat-cepat bertaubat, sebentar lagi kiamat loh”
Dudung hanya menyeringai seraya mengisyaratkan bahwa ia sadar akan dirinya banyak dosa atau entahlah.
Kebanyakan dari teman kuliahku apabila sedang membicarakan soal islam, mendadak mereka menjadi kurang semangat, apalagi kalau sudah sampai pada pembicaraan dosa lalu memanjang ke surga dan neraka. sudah jelas mereka akan terdiam, seolah soal demikian tidaklah patut untuk dibicarakan, dan hanya menjadi ranah pribadi masing-masing.
Lain halnya dengan teman satu kontrakan, yang meyakini bahwa kemampuan atau pemahaman ilmu agama yang ku miliki lebih tinggi dibandingkan dengan teman lainnya, bahkan tidak jarang omonganku didengar oleh teman satu kontrakan, Gilanya. Ucapan yang keluar dari mulutku bahkan menjadi acuan dalam kehidupan beragama bagi salah satu anak di kontrakan,di satu sisi aku merasa senang karena ucapanku selalu di dengar, namun di sisi lain aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal, apa ya benar yang aku ucapkan itu. Padahal aku sendiri sudah lama sekali tidak mengaji dan membaca kitab. Jangankan kitab, bahkan al-qur’an saja aku lupa terakhir membacanya kapan. Mungkin 2 tahunan lalu, tetapi mau bagaimana lagi.
Mula-mula perihal demikian aku coba untuk mewajarkan ketika ada yang bertanya padanya soal wudhu misalnya, dalam pikiranku saat itu mungkin yang bertanya memang sedang lupa saja akibat sudah terbiasa hidup di kota besar, dan meyakini pasti dulunya juga sama sepertinya mengaji juga di daerahnya. Namun yang menjadi muskil nya adalah ketika aku bertanya kepada beberapa teman yang juga anak desa sepertiku. Kebanyakan dari mereka dulu sewaktu mengaji hanya dari alif-alif an sampai Al-qur’an saja, mereka tidak mengaji kitab seperti halnya yang dilakukan olehku dulu. Ya walaupun tidak sempat mengaji selembar sarah pun, dan satu kitab pun belum ada yang pernah ku selesaikan.
“Asyik nih Bah, besok kita puasa bareng-bareng lagi” Ucap dudung
“Bener banget Dung, mudah-mudahan pas sebelum sahur di bulan Ramadhan yang akan datang nanti ada acara film Oemar lagi ya” Sahutku “Biarpun sudah ditonton berulang kali, aku tetap saja menyukai film tersebut Dung” Lugas ku
“Iya bener Bah, mungkin karena memang di bulan Ramadhan yak, jadi kita disuguhkan oleh nuansa islami. Ya seperti film Oemar itu, yang menceritakan bagian dari sejarah Islam” Jawab Dudung
Barang sebentar, tiba saja terdengar suara mesin motor di garasi kontrakkan kami. “Sepertinya itu suara motor kepunyaan Muhlis” Terka Dudung
“Assalamuallaikummm!!!...” ucap Muhlis dengan nada sedikit ditekan dan sambil ikut nimbrung duduk di serambi kontrakan. “Sedang asyik ngobrolin apa nih?” Lanjutnya bertanya
“Waallaikumsalam” ucapku berbarengan dengan Dudung.
“Lha ini loh Lis, bulan puasa sudah nggak terasa sebentar lagi, kamu mbok ya di sudahi berbuat yang enggak-enggak nya, bener tho Bah?” ucap Dudung
“Wah iya e dulurku, memang sudah harus mandheg ini” jawabnya dengan wajah sesalnya
Tidak lama kemudian obrolan mereka pun terhenti oleh lantunan tarhim yang kurang merdu dari masjid di dekat kontrakan, kalau kata Pak dhe angkringan depan kontrakan, orang yang melantunkan tarhim ini adalah Mbah Paran. Orang-orang sekitar sudah biasa dan sangat hafal betul suara beliau, suara yang terdengar agak serak ditambah dengan nafas yang tidak panjang lagi.
Mbah Paran, dari cerita bapak-bapak yang kerap menghabiskan waktu malamnya di angkringan, beliau dulunya adalah Gentho di daerah sana, bahkan terminal lama dulunya Mbah paran menjadi orang yang cukup berpengaruh di sana.
“Ini loh Mbah Paran Lis, Sekarang beliau sibuk menghabiskan waktunya di masjid, walaupun suaranya tidak begitu merdu, setiap kali tarhiman atau adzan, tapi kok ya terdengar kaya ikhlas sekali loh” Ucap Dudung takjub
“Bener Dung, padahal dulunya loh gualak banget kata Pak dhe Kamso tuh, Lha kamu ya tau to, banyak yang cerita kalau dulunya Mbah Paran itu mantan preman terminal lama, wah salut aku sama beliau” Jawab Muhlis membenarkan
“Pak dhe Kamso sewaktu masih remaja bahkan pernah hampir kena tempeleng nya beliau lantaran ketahuan membeli miras oplosan di dekat terminal lama itu” Kata Dudung dengan penuh semangat.
“Mosok sih Dung” sahut Muhlis dengan rasa ingin tahu
Mereka berdua memang senang berkelakar, semantara aku hanya menyimak dan menikmati Tarhim yang masih terlantun dari Mbah Paran itu.
“Lah coba aja tanya Tabah” jawab Dudung sambil menoleh ke arahku “Kamu waktu Pak dhe Kamso cerita itu ada tho Bah,”
“Benar Lis, waktu itu Pak Dhe ya ceritanya menggebu-gebu sekali” jawabku
“Tapi ya Dung, banyak cerita juga kalau Mbah Paran itu sering berbuat baik, apalagi ke orang yang memang kekurangan, dari ceritanya Pak Wignyo si, dulu waktu masih di terminal Mbah Paran tu sering ngasih makan ke Mbok Sumi yang sekarang sudah Almarhumah, bahkan dengan sembunyi-sembunyi” Kata Muhlis
“Kalau kata Pak Dhe Sangkan sih Mbok Sumi itu yang sekarang rumahnya dijadikan tempat menyimpan bonang, goong, alat gamelan dan perkakas karawitan lain kepunyaan dusun sini Lis. Lalu katanya juga Mbok Sumi itu sudah ditinggal anak-anaknya ke Jakarta sejak lama, terus hidup seorang diri”
“Oalah, rumah yang bangunannya kuno dan terlihat reot itu” Ucap Muhlis mengiyakan, “Mulia bener ya Mbah Paran, terus ditambah lagi sekarang beliau sibuk mengurus masjid, mungkin sudah cukup kali ya bekalnya” Tambahnya dengan lugu.
“Wushh.. Ngawur kamu Lis. Wes masuk-masuk yuk, udah adzan ini” Tukasku dengan masih teriringi lantunan Adzan dari Mbah Paran.
Aku dan kawanku pun segera masuk ke dalam kamar masing-masing, ketika lantunan adzan sudah selesai, dan malam telah jatuh di kota ini dengan membawa kesunyian, kilauan-kilauan sinar aneh yang ditinggalkan oleh matahari dalam celah-celah cakrawala sudah tiada, digantikan oleh sinar lampu-lampu jalan dan di rumah-rumah yang mulai menyala seperti menandakan kekhawatiran. Derit gesekan bambu di belakang kontrakan persis yang tertiup angin sore itu pun terdengar sampai masuk ke ruangan, dan menghantarkan maghrib saat itu untuk mengusir sandekala.
Setelah melakukan shalat maghrib, terbesit dalam pikiranku mengenai Mbah Paran, begitu luar biasa keren. Tak bisa ku bayangkan hidup di zaman beliau dulu sewaktu di terminal lama. Kisahnya membuatku mentafakuri segala hal yang pernah aku lakukan, sedikit menyesal ketika teman-teman kok begitu percayanya denganku, waktu itu beberapa kali aku terlalu mengkhawatirkan tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh teman-temanku mengenai persoalan agama dalam kehidupan, atau mengenai sejarah islam itu sendiri. Misalnya seperti pengetahuan teman-teman akan Khulafaur Rasyidin yang begitu kurang, bahkan Dudung sudah lupa siapa saja, kemudian soal ayat-ayat pendek Al-Qur’an yang kebanyakan dari mereka sudah lupa, belum lagi soal riba, padahal bab itu pun aku belum sempat aku pelajari.
Kekhawatiran itu pada akhirnya membawaku pada kesombongan. Terkesan meremehkan, terkesan aku yang paling paham, saat ini aku sadar, bahwa waktu itu setan pun telah datang kepadaku dengan membenar-benarkan diriku, membenarkan apa yang meluncur begitu saja dari mulutku padahal itu adalah siasat darinya saja. Celakanya diriku!!! Kembali aku mentafakuri ucapan-ucapan yang pernah keluar dari mulutku, kiranya saat ini terasa begitu agul. Laku lampah begitu berbanding terbalik, aku merasa sudah terlalu jauh tergelincir dari rel moral. Setan datang kembali memberikan rasa waswas dan kegelisahan, spontan aku beristighfar.
Aku teringat dengan sikapku yang kurang hormat pada si Danang teman kuliahku, karena sempat aku melihatnya minum dan memakan klethikan dengan tangan kiri, bukan cuma itu, aku pun sempat menegurnya sewaktu keluar dari kamar kecil karena mendahulukan kaki kiri. Lalu aku pun teringat teguranku kepada Nisa temanku sewaktu di Madrasah lantaran dalam status whatsapp nya dia mursal dan menuliskan kekesalannya sewaktu hujan turun, sampai saat ini pun masih ingat, “Bukannya berdoa di saat hujan, kamu kok malah mursal begitu” Begitu balasanku pada statusnya yang langsung dihapus.
Belum selesai disitu, entah mengapa suasana saat ini membawaku pada ingatan-ingatan yang membuatku merasa menyesal. Pelan-pelan ku telisik ke masa lampau sewaktu ku mengaji, akhirnya aku teringat pada ucapan guru ngajiku.
Beliau bertutur “Tole, besok kalau kamu besar, dan semisal merantau ke luar daerah sana, kamu jangan kaget atau gumun kalau-kalau melihat orang-orang di lingkungan mu kelak berbeda tata cara ibadahnya denganmu, jangan buru-buru menghukumi seseorang yang berbeda, apapun itu perbedaannya”
Lalu beliau berkias kepadaku setelah menjelaskan sedikit bab puasa “Kamu ingat kisah perdebatan Imam syafi'i dengan gurunya yaitu imam maliki yang masyhur itu? Kedua orang alim itu tetap kukuh pada pendiriannya soal rezeki, jadi Imam maliki itu bertutur bahwa rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan bertawakal pada Allah rizki akan datang dengan sendirinya. Kemudian imam syafii menyangkalnya dengan berpadanan pada seekor burung, mana mungkin seekor burung jika tidak keluar sarangnya bisa mendapatkan rezeki.” Beliau berkisah
“Suatu ketika Imam Syafii pergi berjalan-jalan dan melihat sekelompok petani sedang memanen buah anggur. Beliau juga membantu mereka. Setelah pekerjaannya selesai, Imam Syafii menerima imbalan berupa beberapa ikat anggur. Imam Syafii senang bukan karena mendapat anggur, tapi lantaran hadiah yang ia dapat itu menguatkan pendapatnya”
“Lalu imam syafii bergegas untuk menemui gurunya. Imam syafii menceritakan kepada gurunya mengenai anggur yg ia peroleh itu dengan berusaha, pendek kata bukan tanpa sebab. Tapi pendapat guru juga tidak salah. Ujar orang yang terkenal alim itu sambil memberikan anggur yg ia dapat kepada gurunya.” Lanjut guruku berkisah dengan penuh semangat. “Imam maliki pun tersenyum dan mencicipi anggur pemberian sang murid itu, dan kedua orang alim itu pun saling tersenyum penuh rasa syukur. Begitulah cara orang alim melihat dan menyikapi perbedaan. Le” Ujar guruku yang juga ikut tersenyum.
Ingatan yang membawaku pada masa lalu dan kisah-kisah dari guruku pun membuatku tidak lagi masygul, ternyata bertafakur pun perlu kehati-hatian, ya itu tadi, salah-salah sedikit setan akan datang dan merasa senang. Sebentar lagi puasa, aku merindukan masa dimana begitu bahagianya ketika menyambut bulan suci itu bersama teman-teman di desaku, bertadarus, memperbanyak amal, dan berbuat kebaikan lainnya. Sudah lama sekali aku tidak menjalankan itu semua.
Tidak terasa sudah memasuki waktu Isya, Kembali Mbah Paran melantunkan Adzan, namun kali ini agak berbeda, suaranya semakin serak payau dan sesekali terdengar batuk dari toa masjid dekat kontrakan itu. Sambil menjawab Adzan dari Mbah Paran, aku kembali merenungkan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Di atas lemari plastik di kamarku, selain debu-debu yang semakin menumpuk tebal, banyak juga rupanya botol-botol bekas minuman keras yang terpajang rapi, dalam waktu dekat ini ternyata bukan cuma hati ataupun laku lampah yang perlu dibenahi, kamarku pun memerlukannya.
Seketika itu pun ku bertaubat dan berucap Astagfirullahh…. Lalu dalam hatiku membisikan pengharapan kasih “Ya Allah, semoga kelak aku menerima kitab amal melalui tangan kanan, bukan dari belakang ataupun lewat tangan kiriku. Amiinn”
Hayya Alalfa… Suaranya mengalun lebih rintih dan belum sampai falaah terdengar gedebuk! Saat itu hening seketika dan tak lama kemudian disusul oleh suara hentakan langkah kaki dari luar kamar seraya berlari rancak beradu dengan gemuruh suara ramai yang masuk ke mic bekas di pakai Mbah Paran yang keluar melalui toa.
“Bah, Tabah… Mbah Paran Bah” Kata Dudung dari serambi kontrakan dan terlihat dari jendela kamarku seperti orang panik kebingungan “Mbah Paran Kenapa?” Teriak Muhlis pada Pak Dhe Kamso yang saat itu tergopoh-gopoh berlari menuju ke arah masjid.
Pak dhe Kamso pun hanya menoleh ke arah Muhlis sambil tetap berlari dan melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan bahwa dirinya pun belum tahu kejadian sebenarnya.
Kemudian tidak lama Adzan itu pun dilanjutkan kembali, namun sepertinya oleh orang yang beda dan terbata-bata suaranya terdengar seperti penuh dengan kesedihan. Aku menyimak serius lanjutan lantunan adzan yang terhenti tadi, sepertinya suara ini aku mengenalnya, iya benar aku mengenal jelas suara ini. Suaranya Pak Dhe Sangkan…
Surakarta. Februari 2023
Penulis : Tuan Bono